BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. di
antara masalah khilafiah tersebut ada yarig menyelesaikannya dengan cara yang
sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal
sehat.
Akan tetapi dibalik itu, niasalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw., dalam haditsnya: إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Akan tetapi dibalik itu, niasalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw., dalam haditsnya: إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Artinya:
"Perbedaan
pendapat (di kalangan) uinatku adalah rahmat."
Hadits ini
dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih salah satu
pendapat dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
B.
Rumusan masalah
1. Apa penyebab timbulnya perbedaan
pendapat dalam hukum islam?
2. Apa saja aliran-aliran dalam hukum
islam?
3. Bagaimana kesatuan madzhab dalam
hukum islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebab sebab timbulnya perbedaan pendapat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat
di antaranya:
1.
Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash
Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis)
kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash
dan ada pula yang menolaknya. hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat
dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan
dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada
seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya
ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak,
karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.
2.
Perbedaan Dalam Memahami Nash
Dalam suatu nash, baik Qur’an maupun Hadis,
kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak), dan
kata majazi (kiasan), sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak
jelas. Terhadap nash yang demikian ini,para ulama berbeda-beda dalam
memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ
(qur’) dalam surat al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”,
sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat.di
samping ituperbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka
satu sama lain.[1]
3.
Perbedaan Dalam Menggabungkan dan Mengunggulkan
Nash-nash Yang Saling Bertentangan
Dalam suatu masalah kadang-kadangterdapat dua atau
lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah
tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana
nash yang lebih kuat di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara
nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah
biasanya para ulama berbeda pendapat.
4.
Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak
yang koleksi Hadisnya tidak sama dengan mendampingi Nabi. Mungkin saja pada
saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak
hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu.
Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama,
makasudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan
koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan
mereka berbeda pendapat.[2]
5.
perbedaan Pendapat Karena Ijma'
Pada masa rasulullah saw., tidak ada pembicaraan tentang ijma'
sebagai sumber hukum syara', karena sumber segala hukum syara' adalah
Rasulullah saw. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. wafat, dan setelah kaum
muslimin mengalami sesuatu peristiwa hukum yang tidak pernah dialami sebelumnya
yang dengan sendirinya tidak pernah menanyakan hukumnya kepada Rasulullah saw.,
maka bagaimanapun juga mereka harus mencari ketentuan hukumnya. Bagi mereka
tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari dan menggali apa yang telah
ditinggalkan oleh Rasulullah saw, berupa Alquran dan hadis disamping menerapkan
aturan-aturan pokok yang telah mereka peroleh selama pergaulan dengan Nabi saw.
Jawaban mereka yang mempelajari hukum peristiwa-peristiwa yang terjadi
kadang-kadang sama dan merupakan kebulatan pendapat, tapi kadang-kadang
jawaban, mereka juga berbeda-beda. Terhadap pendapat yang masih
diperselisihkan, maka diserahkan kepada khalifah untuk dipakai atau tidaknya.
Sebagai contoh disini antara lain ialah masalah menjatuhkan talak tiga kali
dengan sekaligus. Jumhur Ulama Fuqaha, termasuk imam-imam mazhab yang empat,
mengatakan bahwa talak tiga dengan sekaligus jatuh tiga juga. Alasan-alasan
mereka ialah adanya ijma' (kebulatan pendapat) atas jatuhnya tiga talak
tersebut pada masa Khalifah Umar r.a. Diriwayatkan bahwa talak tiga yang
dijatuhkan sekaligus pada masa-masa Rasulullah saw. dan Khalifah Abu Bakar ra.,
jatuh satu saja, yakni menjadi talak raj'i. Akan tetapi Khalifah Umar r.a.
memandang perlu untuk dianggap jatuh tiga juga, agar menjadi pengajaran bagi
orang yang suka menjatuhkan tiga talak sekaligus. Tindakan Khalifah Umar
tersebut kemudian disetujui oleh para sahabat dan persetujuan tersebut dianggap
sebagai ijma'. "Dalam musnad Munad, diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a.
berkata sebagai berikut: Rukanah bin Abdi Yazid menceraikan istrinya tiga kali
dalam satu majlis (tempat), kemudian ra menjadi susah sekali atas
istrinya tersebut. Maka Nabi saw., bertanya kepadanya: Bagaimana cara kamu
menceraikannya ?. Jawab Rukanah: Saya cerakan dia tiga kali dalam satu majlis.
Maka berkata Nabi saw.: Itu hanya satu kali talak, maka kembalikan dia".
Meskipun ada hadis tersebut, namun karena adanya anggapan telah terjadinya
ijma' atas jatuhnya talak tiga juga pada masa Umar r.a. maka para fuqaha tidak
mau menerima hadis tersebut dan memakai ketentuan yang telah dipakai sebelum
masa Umar ra., dengan alasan bahwa terjadinya ijma' atas sesuatu perkara yang
berbeda dengan ketentuan hadis tersebut menunjukkan adanya sesuatu nash yang
telah membatalkan hadis tersebut telah berakhir, atau karena keluarnya hadis
tersebut dipertalikan dengan hal-hal yang kemudian tidak terdapat lagi.
6.
Perbedaan Pendapat Karena Qiyas
Dengan wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat terpaksa harus
memeras otak untuk mengetahui hukum sesuatu peristiwa yang dihadapi. Kalau
peristiwa tersebut ada kemiripannya dengan apa yang pernah terjadi pada masa
rasul, maka mereka tinggal menerapkan hukum yang telah ada, dan kalau tidak ada
kemiripannya, maka mereka dalam menetapkan hukum kadang-kadang berpedoman pada
jiwa syariat yang umum, atau menghapuskan kesempitan tanpa mempunyai
syarat-syarat dan aturan-aturan penetapan hukum yang dikenal pada masa
kemudiannya. Cara-cara yang sama juga dipakai oleh fuqaha-fuqaha angkatan berikutnya.
Akan tetapi, pada masa kemudian timbullah orang-orang yang memakai cara-cara
tersebut bukan pada tempatnya, dan sebagai akibatnya sudah barang tentu. adalah
penetapan hukum yang tidak tepat. Maka timbullah pembahasan tentang dalil-dalil
hukum, syarat-syarat pemakaiannya dan cara-cara menerapkannya. Dari sini maka
timbullah perselisihan tentang beberapa macam dalil (sumber) hukum, dan
diantara ialah qiyas. Perbedaan pendirian tentang pemakaian qiyas sudah barang
tentu menimbiilkan perbedaan dalam menetapkan hukum, sebab apa yang dketapkan
hukumnyaberdasarkan qiyas oleh fuqaha pemakai qiyas akan dikembalikan hukumnya
kepada kebolehan asli oleh fuqaha bukan pemakai qiyas. Sebagai contoh perbedaan
pendapat karena qiyas ialah, mengenai hukuman minuman keras. Menurut Sahabat
Ali r.a., hukumannya ialah delapah puluh kali cambukan (jilid), sebab seseorang
apabila telah mabuk maka ia membuat fitnah, sedang hukuman memfitnah ialah
delapan kali cambukan. Jadi minuman-minuman keras dipersamakan dengan membuat fitnah.
Akan tetapi bagi fuqaha Dhahiri, disebabkan mereka tidak mau menggunakan qiyas,
maka dalam penetapan hukuman bagi minuman-minuman keras mereka berpijak pada
nash-nash syari'at yang umum, dan dalam hal ini, mereka menetapkan hukuman
"ta'zir" artinya besarnya hukuman perbuatan tersebut diserahkan
kepada kebijaksanaan penguasa sesuatu masa, bukan didasarkan atas batasan
tertentu (had).
B.
Aliran aliran
dalam hukum islam
Aliran yang mula-mula timbul dalam Fiqh Islam antara lain adalah:
Aliran ahlul hadist (aliran tradisionalisme) Aliran ahlu ra’yi atau ahlul qias (aliran rationalisme).[3]
Aliran-aliran tersebut akan dijelaskan seperti dibawah ini:
Aliran ahlul hadist (aliran tradisionalisme) Aliran ahlu ra’yi atau ahlul qias (aliran rationalisme).[3]
Aliran-aliran tersebut akan dijelaskan seperti dibawah ini:
1)
Aliran
Ahlul Hadist (Aliran Tradisionalisme)
Ahlul hadist adalah golongan ulama fiqh yang berpegang hanya kepada al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW saja. Ahlul hadist ini dalam perkembangan selanjutnya, terbagi kepada beberapa aliran antara lain:
Ahlul hadist adalah golongan ulama fiqh yang berpegang hanya kepada al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW saja. Ahlul hadist ini dalam perkembangan selanjutnya, terbagi kepada beberapa aliran antara lain:
a)
Aliran
Malikiyah, ialah pengikut Imam Malik bin Anas (penganut mazhab Maliki)
b)
Syafe’iyah , ialah pengikut Imam Muhammad bin
Idris as Syafe’I (pengikut mazhab Syafe’i).
c)
Hambaliyah
pengikut Imam Ahmad bin Hambal (penganut Mazhab Hambali).
d)
Zhahiriyah
ialah pengikut Daud bin Al-zhahiry (penganut madzhab Azhahiry)
Pelopor ahlul
hadis tersebut adalah Sa’ad bin Musayyah, yang wafat tahun 93 H. beliau
terkenal ahli Qira’at/Faqaha tujuh di Madinah, di samping itu juga seorang
pemimpin golongan Thabi’in. Jadi ahlul hadis ini berkembang di Hejaz. Ini
dilatarbelakangi karena penduduk Hejaz tersebut lebih banyak mengenal hadis
Rasul. Lebih perbuatan dan ketetapan Rasul. Hejaz pada saat itumerupakan pusat tempat lahirnya
para ulama dan thabi’in.para ulama ini
menerima pendapat/pemikiran para Fuqaha dan sahabat serta dari para thabi’in.
aliran ahlul hadis ini selanjutnya dikenal dengan ulama “Madrasah Hadits”.
2)
Aliran
Ahlul Ra’yu atau Ahlul Qiyas(AliranRasionaliame)
Yang
dimaksud dengan Aliran Ahlul Ra’yu atau Ahlul Qiyas adalah golongan ulama Fiqih
Islam yang berpegang/berpedoman pada hasil penelitian (Ra’yi) atau kepada Qias
(hasil Ijma’). Ahlul Ra’yu ini kemudian terkenal dengan aliran Madrasah,
pengikutnya yaitu Hanafiah, ialah pengikut Imam Abu hanifah, dengan mazhabnya
“Hanafi”. Tempat lahir dan berkembangnya di Irak. Sebagai pelopornya yang terkenal
adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An Nachaiy, yang meninggal pada tahun 96 H
C.
Kesatuan madzhab dalam hukum islam
Perbedaan pendapat yang bisa dikatakan menimbulkan mazhab ialah
"perbedaan pokok!' yakni yang berpangkal pada perbedaan pendirian terhadap
sumber-sumber hukum itu sendiri, seperti perbedaan antara fuqaha Dhahiri yang
mengakui kebolehan "riba" pada pertukaran beras (dengan jumlah lebih
pada salah satunya), dan kebolehan ini didasarkan atau "kebolehan
asal" (ibahah asliy ah), sedangkan jumhur fuqaha menganggap haramnya riba
tersebut, karena mereka mendasarkan pendapatnya pada qiyas, yakni mempersamakan
beras dengan gandum yang sudah ada ketentuannya dalam hadis. Dalam hal ini
masing-masing pendapat bisa dianggap sebagai mazhab.[4]
Kalau
perbedaan pokok menjadi kriteria (ciri khas) mazhab, maka perbedaan-perbedaan
pendapat yang terdapat antara empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hambali) seharusnya tidak perlu menimbulkan mazhab-mazhab yang berdiri sendiri
dan terpisah satu sama lain, karena dasar-dasar dalam mazhab-mazhab tersebut
sebenarnya sama, dan perbedaan yang terjadi antara mereka hanya berpangkal pada
pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara-cara pengambilan hukum dari
sumber-sumbemya. Masing-masing dari mazhab empat tersebut memakai Alquran,
Alhadis, ijma', qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah, meskipun kadang-kadang
terjadi selisih pendirian mengenai perincian-perincian kecil sekitar
sumber-sumber tersebut. Dengan demikian, apabila kita teliti benar-benar, maka perbedaan
pendapat antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i atau Imam Malik, tidak
berpangkal pada dasar-dasar hukum. Bahkan pada garis besaraya cara-cara
pengambilan hukum pun tidak banyak berbeda. Penggabungan Imam-imam Abu Yusuf,
Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar dengan Imam abu Hanifah tidak lain adalah
karena mereka berguru dan bergaul dengannya, menyiarkan pendapat-pendapatnya
dan menyatakan persetujuan pendiriannya dengan pendapat-pendapat tersebut.[5]
Imam Syafi'i sendiri pada mulanya adalah
pengikut Imam Malik dan baru memisahkan diri dan dianggap memisahkan diri
dengan mengemukakan mazhab baru, setelah ia mementingkan unruk menjelaskan
pendapat- pendapatnya sendiri kepada orang banyak. Demikian pula halnya dengan
Abu Tsaur dan At-Thabari (mazhab-mazhab fiqhnya sudah musnah) pengikut mazhab
Syafi'I Dengan berpijak pada kesamaan dasar hukum, maka perbedaan pendapat
tersebut tidak lebih dari pada perbedaan pendirian yang terjadi antara
mazhab-mazhab tersebut dan dengan demikian maka sumber-sumber hukum yang
dipegang adalah sama.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun penyebab dari perbedaan pendapat itu disebabkan oleh
berbagai faktor,salah satunya karna pebedaan dalam memahami isi dari kandungan
Al-Quran dan Al-Hadist, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah SAW : إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
"Perbedaan
pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat."
Kemudian muncullah aliran-aliran yang di sebabkan oleh perbedaan
pendapat tadi, Aliran yang mula-mula timbul dalam Fiqh Islam antara lain Aliran
ahlul hadist (aliran tradisionalisme) Aliran ahlu ra’yi atau ahlul qias (aliran
rationalisme)
Kemudian dari aliran aliran
tradisionalisme terbagi menjadi empat madzhab yaitu Aliran Malikiyah , Syafe’iyah,
Hambaliyah,dan Zhahiriyah.
Dan Aliran ahlu ra’yi atau ahlul
qias (aliran rationalisme) yaitu madzhab(aliran) hanafiyah
B.
Saran
Apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan
khususnya kepada bapak dosen mata kuliah pengantar study hukum islam untuk
memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan
Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Daftar pustaka
Al Bayanuni, Muhammad Abul Fath. Studi Tentang
Sebab-sebab Perbedaan Mazhab.Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994, Arifin
Arifin, Bey. et. al. Menuju Kesatuan Paham Tentang Mazhab.
Surabaya: Bina Ilmu,1985
Prof. TM. Hasbi Ash Shiddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqh, Penerbit CV. Mulya Jakarta, 1967,
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Multazam, M. Fiqih
Syafi’i. 1984. CV.Gresik Surabaya: Bintang Pelajar.
Susiknan, Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr,
tt. Hlm. 146.
[1]
Al Bayanuni, Muhammad
Abul Fath. Studi Tentang Sebab-sebab Perbedaan Mazhab.(Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1994),
[3]
Prof. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,( Penerbit CV. Mulya
Jakarta, 1967)
[4]
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam.( Bandung: Sinar Baru Algensindo) 2003
[5]
Susiknan, Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat.( Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2005)
[6]
Multazam, M. Fiqih
Syafi’i..(CV.Gresik Surabaya: Bintang Pelajar. 1984)
posted by :solihin
No comments:
Post a Comment