BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi (disingkat MK)
adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
B. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya
lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional
Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan
Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah
satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad
ke-20.
Setelah disahkannya
Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada
tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun
2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke
MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
C. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah
Konstitusi
- Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
- Kewenangan
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
- Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Memutus pembubaran partai politik, dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
- Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a)
penghianatan terhadap negara;
b)
korupsi;
c)
penyuapan;
d)
tindak pidana lainnya;
- atau perbuatan tercela, dan/atau
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
D. Tugas Pokok dan Fungsi
1. Panitera
Panitera merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis
administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, fungsi Panitera menyelenggarakan
tugas teknis administratif peradilan sebagaimana berikut:
- koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
- pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
- pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi;
dan
- pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan bidang tugasnya.
a) Panitera Muda I
Panitera Muda I mempunyai tugas membantu Panitera untuk melaksanakan tugas
teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan fungsi:
- Penyiapan koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah
Konstitusi bidang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
- Penyiapan pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara bidang
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
- Penyiapan pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah
Konstitusi bidang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b) Panitera Muda II
Panitera Muda II mempunyai tugas membantu Panitera untuk melaksanakan tugas
teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan fungsi:
- Penyiapan koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah
Konstitusi bidang pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah;
- Penyiapan pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara bidang
pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah; dan
- Penyiapan pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah
Konstitusi bidang pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.
2. Sekretaris Jenderal
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dengan fungsi:
- perencanaan, analisis dan evaluasi, pengawasan administrasi umum dan
administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan tata laksana;
- pengelolaan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia;
- pengelolaan kerumahtanggaan, kearsipan dan ekspedisi, serta barang
milik negara;
- pelaksanaan hubungan masyarakat dan kerja sama, tata usaha pimpinan
dan protokol, serta kesekretariatan kepaniteraan;
- penelitian dan pengkajian perkara, pengelolaan perpustakaan, serta
pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan
- pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
3. Biro Perencanaan dan Pengawasan
Biro Perencanaan dan Pengawasan mempunyai tugas melaksanakan perencanaan,
penyusunan rencana strategis, program kerja dan anggaran, analisis dan
evaluasi, pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, serta
penataan organisasi dan tata laksana. Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Biro Perencanaan dan Pengawasan mempunyai fungsi:
- penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran,
serta analisis dan evaluasi kinerja;
- pelaksanaan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan;
dan
- pelaksanaan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi
birokrasi.
Bagian Perencanaan,
Analisis dan Evaluasi
Bagian Perencanaan, Analisis dan Evaluasi mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta
analisis dan evaluasi kinerja dengan fungsi:
- penyiapan bahan penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja
dan anggaran, serta pelaksanaan ketatausahaan biro; dan
- penyiapan bahan analisis dan evaluasi kinerja.
a) Subbagian Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta
ketatausahaan biro.
b) Analisis dan Evaluasi
Kinerja
Analisis dan Evaluasi Kinerja mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
analisis dan evaluasi kinerja, analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan
kinerja.
c) Bagian Pengawasan,
Organisasi dan Tata Laksana
Bagian Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana mempunyai tugas melaksanakan
pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, penataan organisasi
dan tata laksana, serta reformasi birokrasi dengan fungsi:
- penatausahaan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan;
dan
- pelaksanaan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi
birokrasi.
d) Pengawasan Internal
Pengawasan Internal mempunyai tugas melakukan penatausahaan pelaksanaan
pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan
e) Organisasi dan Tata
Laksana
Organisasi dan Tata Laksana mempunyai tugas melakukan penataan organisasi
dan tata laksana, serta reformasi birokrasi
4. Biro Keuangan dan Kepegawaian
Biro Keuangan dan Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
keuangan dan pengembangan sumber daya manusia mempunyai fungsi:
- pengelolaan perbendaharaan, verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan
laporan keuangan; dan
- pengembangan pegawai, pelaksanaan administrasi hakim, serta
administrasi dan kesejahteraan pegawai
a) Bagian Keuangan
Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan perbendaharaan,
verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan mempunyai fungsi:
- pengelolaan perbendaharaan; dan
- pelaksanaan verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan
keuangan.
b) Perbendaharaan
Perbendaharaan mempunyai tugas melakukan pengelolaan perbendaharaan.
c) Verifikasi, Akuntansi,
dan Pelaporan
Verifikasi, Akuntansi dan Pelaporan mempunyai tugas melakukan verifikasi
dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan
d) Bagian Administrasi
Hakim dan Kepegawaian
Bagian Administrasi Hakim dan Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan
pengembangan pegawai, dan administrasi hakim, serta administrasi dan
kesejahteraan pegawai mempunyai fungsi:
- pelaksanaan pengelolaan administrasi hakim, administrasi dan
kesejahteraan pegawai, serta ketatausahaan biro; dan
- perencanaan dan pengembangan kebutuhan dan sistem manajemen
kepegawaian, serta perencanaan dan pengembangan potensi dan kapasitas
pegawai.
e) Administrasi Hakim, dan
Administrasi dan Kesejahteraan Pegawai
Administrasi Hakim, Administrasi dan Kesejahteraan Pegawai mempunyai tugas
melakukan pengelolaan administrasi hakim, administrasi dan kesejahteraan
pegawai, serta pelaksanaan ketatausahaan biro.
f) Pengembangan Pegawai
Pengembangan Pegawai mempunyai tugas melakukan perencanaan dan pengembangan
kebutuhan dan sistem manajemen kepegawaian, pembinaan pegawai serta perencanaan
dan pengembangan potensi dan kapasitas pegawai.
5. Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol mempunyai tugas melaksanakan hubungan
masyarakat, kerja sama, tata usaha pimpinan dan protokol, serta kesekretariatan
kepaniteraan mempunyai fungsi:
- pelaksanaan hubungan masyarakat, hukum dan kerja sama, serta
pengelolaan dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi;
- pelaksanaan ketatausahaan pimpinan dan keprotokolan; dan
- pelaksanaan kesekretariatan kepaniteraan dan risalah.
a) Bagian Hubungan
Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama
Bagian Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama mempunyai tugas
melaksanakan hubungan masyarakat, hukum dan kerja sama, serta pengelolaan
dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi:
- pelaksanaan hubungan masyarakat dan pengelolaan dokumentasi sejarah
Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi; dan
- penyusunan peraturan perundang-undangan, pemberian bantuan hukum untuk
internal, penyusunan perjanjian dan pelaksanaan kerja sama, serta
ketatausahaan biro.
b) Hubungan Masyarakat
Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melakukan hubungan masyarakat,
peliputan, pemberitaan, dan penerbitan, serta pengelolaan dokumentasi sejarah
Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
c) Hukum dan Kerja Sama
Hukum dan Kerja Sama mempunyai tugas melakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan, pemberian bantuan hukum untuk internal, penyusunan
perjanjian dan pelaksanaan kerja sama, serta ketatausahaan biro
d) Bagian Tata Usaha
Pimpinan dan Protokol
Bagian Tata Usaha Pimpinan dan Protokol mempunyai tugas melaksanakan
ketatausahaan pimpinan dan keprotokolan mempunyai fungsi:
- pelaksanaan ketatausahaan Ketua dan Wakil Ketua, Hakim, serta
Sekretaris Jenderal; dan
- pelaksanaan keprotokolan.
e) Tata Usaha Pimpinan
Tata Usaha Pimpinan mempunyai tugas melakukan ketatausahaan Ketua dan Wakil
Ketua, Hakim, serta Sekretaris Jenderal.
f) Protokol
Protokol mempunyai tugas melakukan pelayanan keprotokolan kegiatan
pimpinan, persidangan, dan tamu
g) Tata Usaha Kepaniteraan
dan Risalah
Bagian Tata Usaha Kepaniteraan dan Risalah mempunyai tugas melaksanakan
kesekretariatan kepaniteraan dan urusan risalah persidangan mempunyai fungsi:
- pelaksanaan ketatausahaan kepaniteraan; dan
- penyusunan, inventarisasi, dan dokumentasi serta pelayanan risalah
persidangan
f) Tata Usaha Kepaniteraan
Tata Usaha Kepaniteraan mempunyai tugas melakukan ketatausahaan
kepaniteraan.
g) Risalah
Risalah mempunyai tugas melakukan penyusunan, inventarisasi, dan
dokumentasi serta pelayanan risalah persidangan.
6. Biro Umum
Biro Umum mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kerumahtanggaan,
kearsipan dan ekspedisi, serta barang milik negara mempunyai fungsi:
- pengelolaan rumah tangga dan pengamanan dalam; dan
- pelaksanaan pengadaan barang/jasa, urusan perlengkapan dan barang
milik negera, urusan fasilitas persidangan, serta urusan arsip dan
ekspedisi.
a) Bagian Rumah Tangga dan
Pengamanan Dalam
Bagian Rumah Tangga dan Pengamanan Dalam mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan rumah tangga dan pengamanan dalam mempunyai fungsi:
- pengelolaan rumah tangga; dan
- pengelolaan pengamanan dalam
b) Rumah Tangga
Rumah Tangga mempunyai tugas melakukan pengelolaan rumah tangga kantor dan
rumah jabatan.
c) Pengamanan Dalam
Subbagian Pengamanan Dalam mempunyai tugas melakukan pengamanan
persidangan, kantor, dan rumah jabatan.
d) Bagian Pengadaan,
Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan, Arsip dan Ekspedisi
Bagian Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan, Arsip dan
Ekspedisi mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan pengadaan barang/jasa,
urusan perlengkapan, dan urusan fasilitas persidangan, serta urusan arsip dan
ekspedisi mempunyai fungsi:
- pengelolaan pengadaan barang/jasa, urusan perlengkapan, dan urusan
fasilitas persidangan; dan
- pengelolaan arsip dan ekspedisi, serta ketatausahaan biro.
e) Pengadaan,
Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan
Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan mempunyai tugas
melakukan pengadaan barang/jasa, pengelolaan perlengkapan dan fasilitas
persidangan, serta penyusunan analisis kebutuhan, penatausahaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemeliharaan dan penghapusan barang milik negara.
f) Arsip dan Ekspedisi
Arsip dan Ekspedisi mempunyai tugas melakukan pengelolaan persuratan, arsip
dan ekspedisi, serta ketatausahaan biro.
7. Pusat Penelitian
dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi
dan Komunikasi mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengkajian perkara,
pengelolaan perpustakaan, serta pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi
mempunyai fungsi:
- penelitian;
- pengkajian perkara;
- penyiapan konsep pendapat hukum;
- penyusunan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- penyusunan yurisprudensi;
- penyusunan kaidah hukum;
- pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi;
- pengelolaan perpustakaan;
- pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan
- pelaksanaan ketatausahaan pusat.
a) Bidang Penelitian dan
Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan
Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan mempunyai tugas
melaksanakan penelitian, pengkajian perkara, penyiapan konsep pendapat hukum,
penyusunan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyusunan yurisprudensi, penyusunan
kaidah hukum, pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi, serta pengelolaan perpustakaan.
b) Bidang Pengelolaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Bidang Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi mempunyai tugas
melaksanakan pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan teknologi informasi dan
komunikasi.
c) Tata Usaha
Tata Usaha mempunyai tugas melakukan ketatausahaan Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
8. Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan
penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai fungsi:
- penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi; dan
- pengelolaan sarana, prasarana, dan ketatausahaan pusat.
a) Bidang Program dan
Penyelenggaraan
Bidang Program dan Penyelenggaraan mempunyai tugas melaksanakan
penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai fungsi:
- perencanaan dan pengembangan program dan kurikulum pendidikan, serta
evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan
Konstitusi; dan
- penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi
b) Program dan Evaluasi
Program dan Evaluasi mempunyai tugas melakukan perencanaan dan pengembangan
program dan kurikulum pendidikan, pengembangan tenaga pengajar, serta evaluasi
dan pelaporan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
c) Penyelenggaraan
Penyelenggaraan mempunyai tugas melakukan penyelenggaraan pendidikan
Pancasila dan Konstitusi.
d) Bagian Umum
Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan sarana, prasarana dan
ketatausahaan pusat mempunyai fungsi:
- penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, serta pengamanan
dalam; dan
- pengelolaan keuangan, administrasi kepegawaian, arsip dan dokumentasi,
serta ketatausahaan pusat.
e) Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana mempunyai tugas melakukan penyediaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana, serta pengamanan dalam.
f) Tata Usaha
Tata Usaha mempunyai
tugas melakukan pengelolaan keuangan, administrasi kepegawaian, arsip dan
dokumentasi, serta ketatausahaan pusat.
E. Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 04 Tahun
2012 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretris Jenderal
Mahkamah Konstitusi Sebagai Berikut:
|
F. Undang-Undang yang Mengatur Mahkamah Konstitusi
Undang-undang yang
mengatur lembaga Mahkamah Konstitusi terdapat pada UUD RI 1945 Pasal 24c dan UU
No.23 Tahun 2003.
- UUD RI 1045 Pasal 24C berisikan :
- Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, mmemutus sengketa kewenangan lembaga begara
daan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
- Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga oleh
Presiden.
- Ketua dan Waki Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
- Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
- Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hokum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
- UU No.23 Tahun 2003
Menimbang :
- bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
- bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan
prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
Mengingat :
- Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal
25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879)
Undang-undang yang
mengatur mahkamah konstitusi ini juga terdapat pada “Persetujuan Bersama
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia yang memutuskan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang memiliki 8 BAB :
- BAB I tentang KETENTUAN UMUM
- BAB II tentang KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
- BAB III tentang KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
- BAB IV tentang PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM KONSTITUSI
- BAB V tentang HUKUM ACARA
- BAB VI tentang KETENTUAN LAIN-LAIN
- BAB VII tentang KETENTUAN PERALIHAN
- BAB VIII tentang KETENTUAN PENUTUP
G. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Lembaga lainnya
1. Hubungan dengan Mahkamah Agung
Hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara
pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib
diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian
peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung
dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang
bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan
sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut
ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya
ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan
yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’
dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini
diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung
ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan
Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena
itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak
final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi
pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk
memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil
jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang
dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah
Konstitusi.
Padahal, dalam
kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan
kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar
urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final.
Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi,
pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua
Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan
UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme
pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang
dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai
pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian,
terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu
dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi
sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini
nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti
ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat
disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah
Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu
lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan
di bawah undang-undang.
2. Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat
adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang
yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan
dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti
sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang
mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk
diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan
menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana
mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat
juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan
Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang
Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau
dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga
berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah
anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain,
hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat
berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim
konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara
yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa
hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR;
dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden
telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan
diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon
kepada MK.
3. Hubungan dengan Presiden/Pemerintah
Selain bertindak
sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua
pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan
Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan
pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai
struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap
harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada
Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka
yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi
Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap
merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga
kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan
Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga
bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan
Mahkamah Konstitusi.
Selain itu,
Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun
pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena
perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya
ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama
serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai
ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan
DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa
apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan
bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak
disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan
sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca
Perubahan.
Sebagai ko-legislator,
maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya
keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di
samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu
lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat
tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar
maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya
Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU,
keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR
sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian
MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan
Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara
pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah.
Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak
boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota
adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut
campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian
dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana
mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan
dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya.
Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara
Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau
mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang
peradilan.
4. Hubungan dengan Komisi Yudisial
Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dalam
ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan
Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka
subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut
Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1)
tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut,
ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena
maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial.
Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang
diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga
adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung.
Namun demikian, karena
secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut perkataan “... serta
perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”, maka tafsir fungsi
Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas hanya pada hakim
agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan
itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan
tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical
interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation)
yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi
memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian,
berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke
dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1)
tersebut. Oleh karena itulah Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga mencakup seluruh jajaran
hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan
tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU
No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai
lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim
konstitusi sebagaimana mestinya
BAB III
PENUTUP
Sejarah berdirinya
lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK
(Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20.
Undang-undang yang
mengatur lembaga Mahkamah Konstitusi terdapat pada UUD RI 1945 Pasal 24c dan UU
No.23 Tahun 2003.
Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi RI
mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga:
- Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a) penghianatan terhadap
negara;
b) korupsi;
c) penyuapan;
d) tindak pidana lainnya;
2. atau perbuatan
tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie Jimly. (2008). Menegakkan Tiang Konstitusi. Jakarta.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK. (2010). Hukum Acara MK. Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
No comments:
Post a Comment