Sunday, November 23, 2014

MAKALAH MAHKAMAH KONSTITUSI


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.


B.     Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

C.    Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
-      Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
-      Kewenangan
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Memutus pembubaran partai politik, dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
-     Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
  1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a)                       penghianatan terhadap negara;
b)                       korupsi;
c)                       penyuapan;
d)                      tindak pidana lainnya;
  1. atau perbuatan tercela, dan/atau
  2. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

D.    Tugas Pokok dan Fungsi
1.      Panitera
Panitera merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, fungsi Panitera menyelenggarakan tugas teknis administratif peradilan sebagaimana berikut:
  1. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
  2. pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
  3. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan
  4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.
a)      Panitera Muda I
Panitera Muda I mempunyai tugas membantu Panitera untuk melaksanakan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan fungsi:
  1. Penyiapan koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi bidang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  2. Penyiapan pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara bidang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
  3. Penyiapan pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi bidang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perselisihan tentang hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b)     Panitera Muda II
Panitera Muda II mempunyai tugas membantu Panitera untuk melaksanakan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan fungsi:
  1. Penyiapan koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi bidang pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah;
  2. Penyiapan pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara bidang pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah; dan
  3. Penyiapan pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi bidang pembubaran partai politik, pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.
2.      Sekretaris Jenderal
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan fungsi:
  1. perencanaan, analisis dan evaluasi, pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan tata laksana;
  2. pengelolaan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia;
  3. pengelolaan kerumahtanggaan, kearsipan dan ekspedisi, serta barang milik negara;
  4. pelaksanaan hubungan masyarakat dan kerja sama, tata usaha pimpinan dan protokol, serta kesekretariatan kepaniteraan;
  5. penelitian dan pengkajian perkara, pengelolaan perpustakaan, serta pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan
  6. pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
3.      Biro Perencanaan dan Pengawasan
Biro Perencanaan dan Pengawasan mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, penyusunan rencana strategis, program kerja dan anggaran, analisis dan evaluasi, pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan tata laksana. Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Biro Perencanaan dan Pengawasan mempunyai fungsi:
  1. penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta analisis dan evaluasi kinerja;
  2. pelaksanaan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan; dan
  3. pelaksanaan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi birokrasi.


Bagian Perencanaan, Analisis dan Evaluasi
Bagian Perencanaan, Analisis dan Evaluasi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta analisis dan evaluasi kinerja dengan fungsi:
  1. penyiapan bahan penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta pelaksanaan ketatausahaan biro; dan
  2. penyiapan bahan analisis dan evaluasi kinerja.
a)      Subbagian Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana, rencana strategis, program kerja dan anggaran, serta ketatausahaan biro.
b)     Analisis dan Evaluasi Kinerja
Analisis dan Evaluasi Kinerja mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan analisis dan evaluasi kinerja, analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan kinerja.
c)      Bagian Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana
Bagian Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana mempunyai tugas melaksanakan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi birokrasi dengan fungsi:
  1. penatausahaan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan; dan
  2. pelaksanaan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi birokrasi.
d)     Pengawasan Internal
Pengawasan Internal mempunyai tugas melakukan penatausahaan pelaksanaan pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan
e)      Organisasi dan Tata Laksana
Organisasi dan Tata Laksana mempunyai tugas melakukan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi birokrasi
4.  Biro Keuangan dan Kepegawaian
Biro Keuangan dan Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia mempunyai fungsi:
  1. pengelolaan perbendaharaan, verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan; dan
  2. pengembangan pegawai, pelaksanaan administrasi hakim, serta administrasi dan kesejahteraan pegawai
a)      Bagian Keuangan
Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan perbendaharaan, verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan mempunyai fungsi:
  1. pengelolaan perbendaharaan; dan
  2. pelaksanaan verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan.
b)     Perbendaharaan
Perbendaharaan mempunyai tugas melakukan pengelolaan perbendaharaan.
c)      Verifikasi, Akuntansi, dan Pelaporan
Verifikasi, Akuntansi dan Pelaporan mempunyai tugas melakukan verifikasi dan akuntansi, serta penyusunan laporan keuangan
d)     Bagian Administrasi Hakim dan Kepegawaian
Bagian Administrasi Hakim dan Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan pengembangan pegawai, dan administrasi hakim, serta administrasi dan kesejahteraan pegawai mempunyai fungsi:
  1. pelaksanaan pengelolaan administrasi hakim, administrasi dan kesejahteraan pegawai, serta ketatausahaan biro; dan
  2. perencanaan dan pengembangan kebutuhan dan sistem manajemen kepegawaian, serta perencanaan dan pengembangan potensi dan kapasitas pegawai.
e)      Administrasi Hakim, dan Administrasi dan Kesejahteraan Pegawai
Administrasi Hakim, Administrasi dan Kesejahteraan Pegawai mempunyai tugas melakukan pengelolaan administrasi hakim, administrasi dan kesejahteraan pegawai, serta pelaksanaan ketatausahaan biro.
f)       Pengembangan Pegawai
Pengembangan Pegawai mempunyai tugas melakukan perencanaan dan pengembangan kebutuhan dan sistem manajemen kepegawaian, pembinaan pegawai serta perencanaan dan pengembangan potensi dan kapasitas pegawai.



5.  Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol mempunyai tugas melaksanakan hubungan masyarakat, kerja sama, tata usaha pimpinan dan protokol, serta kesekretariatan kepaniteraan mempunyai fungsi:
  1. pelaksanaan hubungan masyarakat, hukum dan kerja sama, serta pengelolaan dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi;
  2. pelaksanaan ketatausahaan pimpinan dan keprotokolan; dan
  3. pelaksanaan kesekretariatan kepaniteraan dan risalah.
a)      Bagian Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama
Bagian Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama mempunyai tugas melaksanakan hubungan masyarakat, hukum dan kerja sama, serta pengelolaan dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi:
  1. pelaksanaan hubungan masyarakat dan pengelolaan dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi; dan
  2. penyusunan peraturan perundang-undangan, pemberian bantuan hukum untuk internal, penyusunan perjanjian dan pelaksanaan kerja sama, serta ketatausahaan biro.
b)     Hubungan Masyarakat
Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melakukan hubungan masyarakat, peliputan, pemberitaan, dan penerbitan, serta pengelolaan dokumentasi sejarah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.

c)      Hukum dan Kerja Sama
Hukum dan Kerja Sama mempunyai tugas melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan, pemberian bantuan hukum untuk internal, penyusunan perjanjian dan pelaksanaan kerja sama, serta ketatausahaan biro
d)     Bagian Tata Usaha Pimpinan dan Protokol
Bagian Tata Usaha Pimpinan dan Protokol mempunyai tugas melaksanakan ketatausahaan pimpinan dan keprotokolan mempunyai fungsi:
  1. pelaksanaan ketatausahaan Ketua dan Wakil Ketua, Hakim, serta Sekretaris Jenderal; dan
  2. pelaksanaan keprotokolan.
e)      Tata Usaha Pimpinan
Tata Usaha Pimpinan mempunyai tugas melakukan ketatausahaan Ketua dan Wakil Ketua, Hakim, serta Sekretaris Jenderal.
f)       Protokol
Protokol mempunyai tugas melakukan pelayanan keprotokolan kegiatan pimpinan, persidangan, dan tamu
g)      Tata Usaha Kepaniteraan dan Risalah
Bagian Tata Usaha Kepaniteraan dan Risalah mempunyai tugas melaksanakan kesekretariatan kepaniteraan dan urusan risalah persidangan mempunyai fungsi:
  1. pelaksanaan ketatausahaan kepaniteraan; dan
  2. penyusunan, inventarisasi, dan dokumentasi serta pelayanan risalah persidangan

f)       Tata Usaha Kepaniteraan
Tata Usaha Kepaniteraan mempunyai tugas melakukan ketatausahaan kepaniteraan.
g)      Risalah
Risalah mempunyai tugas melakukan penyusunan, inventarisasi, dan dokumentasi serta pelayanan risalah persidangan.
6. Biro Umum
Biro Umum mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kerumahtanggaan, kearsipan dan ekspedisi, serta barang milik negara mempunyai fungsi:
  1. pengelolaan rumah tangga dan pengamanan dalam; dan
  2. pelaksanaan pengadaan barang/jasa, urusan perlengkapan dan barang milik negera, urusan fasilitas persidangan, serta urusan arsip dan ekspedisi.
a)      Bagian Rumah Tangga dan Pengamanan Dalam
Bagian Rumah Tangga dan Pengamanan Dalam mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan rumah tangga dan pengamanan dalam mempunyai fungsi:
  1. pengelolaan rumah tangga; dan
  2. pengelolaan pengamanan dalam
b)     Rumah Tangga
Rumah Tangga mempunyai tugas melakukan pengelolaan rumah tangga kantor dan rumah jabatan.


c)      Pengamanan Dalam
Subbagian Pengamanan Dalam mempunyai tugas melakukan pengamanan persidangan, kantor, dan rumah jabatan.
d)     Bagian Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan, Arsip dan Ekspedisi
Bagian Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan, Arsip dan Ekspedisi mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan pengadaan barang/jasa, urusan perlengkapan, dan urusan fasilitas persidangan, serta urusan arsip dan ekspedisi mempunyai fungsi:
  1. pengelolaan pengadaan barang/jasa, urusan perlengkapan, dan urusan fasilitas persidangan; dan
  2. pengelolaan arsip dan ekspedisi, serta ketatausahaan biro.
e)      Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan
Pengadaan, Perlengkapan, dan Fasilitas Persidangan mempunyai tugas melakukan pengadaan barang/jasa, pengelolaan perlengkapan dan fasilitas persidangan, serta penyusunan analisis kebutuhan, penatausahaan, penyimpanan, pendistribusian, pemeliharaan dan penghapusan barang milik negara.
f)       Arsip dan Ekspedisi
Arsip dan Ekspedisi mempunyai tugas melakukan pengelolaan persuratan, arsip dan ekspedisi, serta ketatausahaan biro.


7.  Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengkajian perkara, pengelolaan perpustakaan, serta pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi mempunyai fungsi:
  1. penelitian;
  2. pengkajian perkara;
  3. penyiapan konsep pendapat hukum;
  4. penyusunan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  5. penyusunan yurisprudensi;
  6. penyusunan kaidah hukum;
  7. pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi;
  8. pengelolaan perpustakaan;
  9. pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan
  10. pelaksanaan ketatausahaan pusat.



a)      Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan
Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pengkajian perkara, penyiapan konsep pendapat hukum, penyusunan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyusunan yurisprudensi, penyusunan kaidah hukum, pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi, serta pengelolaan perpustakaan.
b)     Bidang Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Bidang Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi mempunyai tugas melaksanakan pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi.
c)      Tata Usaha
Tata Usaha mempunyai tugas melakukan ketatausahaan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

8.  Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai fungsi:
  1. penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi; dan
  2. pengelolaan sarana, prasarana, dan ketatausahaan pusat.
a)      Bidang Program dan Penyelenggaraan
Bidang Program dan Penyelenggaraan mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi mempunyai fungsi:
  1. perencanaan dan pengembangan program dan kurikulum pendidikan, serta evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi; dan
  2. penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi
b)     Program dan Evaluasi
Program dan Evaluasi mempunyai tugas melakukan perencanaan dan pengembangan program dan kurikulum pendidikan, pengembangan tenaga pengajar, serta evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
c)      Penyelenggaraan
Penyelenggaraan mempunyai tugas melakukan penyelenggaraan pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
d)     Bagian Umum
Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan sarana, prasarana dan ketatausahaan pusat mempunyai fungsi:
  1. penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, serta pengamanan dalam; dan
  2. pengelolaan keuangan, administrasi kepegawaian, arsip dan dokumentasi, serta ketatausahaan pusat.
e)      Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana mempunyai tugas melakukan penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, serta pengamanan dalam.

f)       Tata Usaha
Tata Usaha mempunyai tugas melakukan pengelolaan keuangan, administrasi kepegawaian, arsip dan dokumentasi, serta ketatausahaan pusat.

E.     Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi
        Berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretris Jenderal Mahkamah Konstitusi Sebagai Berikut:

F.     Undang-Undang yang Mengatur Mahkamah Konstitusi
Undang-undang yang mengatur lembaga Mahkamah Konstitusi terdapat pada UUD RI 1945 Pasal 24c dan UU No.23 Tahun 2003.
-       UUD RI 1045 Pasal 24C berisikan :
  1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, mmemutus sengketa kewenangan lembaga begara daan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  2. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
  3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga oleh Presiden.
  4. Ketua dan Waki Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
  5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
  6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hokum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
-       UU No.23 Tahun 2003
Menimbang :
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
  2. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
Mengingat :
  1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879)
Undang-undang yang mengatur mahkamah konstitusi ini  juga terdapat pada “Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia yang memutuskan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang memiliki 8 BAB :
  1. BAB I tentang KETENTUAN UMUM
  2. BAB II tentang KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
  3. BAB III tentang KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  4. BAB IV tentang  PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM KONSTITUSI
  5. BAB V tentang  HUKUM ACARA
  6. BAB VI tentang KETENTUAN LAIN-LAIN
  7. BAB VII tentang KETENTUAN PERALIHAN
  8. BAB VIII tentang KETENTUAN PENUTUP

G.    Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Lembaga lainnya
1.      Hubungan dengan Mahkamah Agung
Hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.
2.      Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
3.      Hubungan dengan Presiden/Pemerintah
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan.
Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan.
4.      Hubungan dengan Komisi Yudisial
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.  Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung.
Namun demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut perkataan “... serta perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”, maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh karena itulah Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya

BAB III
PENUTUP

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Undang-undang yang mengatur lembaga Mahkamah Konstitusi terdapat pada UUD RI 1945 Pasal 24c dan UU No.23 Tahun 2003.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
  1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a)      penghianatan terhadap negara;
b)         korupsi;
c)      penyuapan;
d)     tindak pidana lainnya;
2. atau perbuatan tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie Jimly. (2008). Menegakkan Tiang Konstitusi. Jakarta.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK. (2010). Hukum Acara MK. Jakarta.


Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen

Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi

No comments:

Post a Comment